30 Juni 2012

Basa Basi yang (Sudah) Basi *Berkomentarlah pada Tempatnya '-)

by Gita Kencana Dalimunte on Sunday, June 24, 2012 at 2:29am ·
“Pada dasarnya gue suka melihat photo atau status teman yang terlihat bahagia dengan keluarganya. Tapi kadang untuk berkomen atau sekedar memberi jempol, gue harus menahan diri, karena pengalaman yang sudah-sudah, komen balik dari teman tidak selalu seperti yang  diharapkan.”

Pagi-pagi, bunyi pesan singkat yang panjang dari seorang sahabat membangunkan saya.

Sembari menahan kantuk –karena baru tertidur jam 1 pagi-  saya mengetik balik.”Hahaha, pasti responnya nanti seputar status lajang kita kan,’makanya buruan, apa gak pengen liat keluarga bahagia seperti aku’, ‘ayo kapan lagi’, something like that –lah. Hehehe..gue dah kebal, Sist. Jadikan doa aja komen-komen seperti itu ;-).”

Tidak ada balasan balik. Dan saya pun berniat melanjutkan tidur.

Ini bukan pertama kalinya saya mendapatkan curhat  yang nyaris sama dari orang yang berbeda. Kapok berkomen di FB, karena respon balik yang terjadi malah membuat diri merasa tersudut. Saya pun pernah mengalami hal yang sama. Di dunia nyata malah. Disudutkan seorang teman lama yang dengan bangganya menceritakan kedua anaknya (sampai di  sini saya maklum, mana ada sih orang tua yang tidak bangga dengan anaknya. Saya juga senang melihat dia bahagia kok), kemudian,”bla..bla..bla..”, dan ujung-ujungnya menyerang  dengan kalimat, “...Ngga iri kau melihatku Git, makanya kawin kau, biar dapat anak lucu dan pintar kayak anakku...” Katanya enteng. Seolah tak sadar ada yang keliru dengan ucapannya.

Ouch, ngga suka Kakak diserang kayak gitu, Dek.


Emosi karena mengingat kejadian itu membuat kantuk saya hilang. Ah, kok masih ada ya manusia-manusia yang suka melepaskan omongan tanpa mikir seperti itu. Yang saya ingat respon saat kejadian itu terjadi hanya tersenyum (meski dalam hati mau merepet juga, hehehe).

Seseorang kadang tidak sadar bahwa ucapannya bisa melukai hati orang lain.

SMS lanjutan masuk ketika saya selesai sarapan pagi.

“Dalam hal ini, berolok-olok begitu sama artinya dengan mengolok-olok ketentuan Allah terhadap seseorang. (Nanya) kapan elo married  sama dengan (nanya) kapan elo mati. (Kalimat) makanya cepat-cepat married, sama dengan (mengatakan) cepat-cepat  mati. Hidup, mati dan jodoh, dia sendiri kan tau itu misteri. Sama misterinya dengan kapan elo lahir (atau melahirkan). Bisa jawab nggak.”

Masih ada sisa emosi tersirat dalam SMS-nya.

“Iya sih, mestinya mereka bisa berempati dan sensitif. Kondisi orang kan berbeda-beda. Ada memang orang yang mungkin perlu didorong untuk menikah, atau belum sadar positifnya menikah. Tapi kayak-kayak kita ini kan bukan termasuk yang belum sadar, hehehe.” Saya membaca sekali lagi ketikan sebelum mengirimnya. Terkirim.

Menarik, analogi yang ditulis sahabat saya tadi. Married (jodoh) dan mati adalah sama. Keduanya adalah takdir Allah yang tak seorang pun tahu kapan terjadi. Bedanya, yang satu (kematian) tidak ada orang yang mau cepat-cepat (nyusul), sedangkan yang satu (jodoh) semua mempertanyakan ‘kapan nyusul’ kepada para lajang saat mendapat undangan dari kenalan yang akan menikah. Seolah semudah memanggil becak aja buat nyusul, hehehe.

Meskipun namanya takdir, tak bisa dielakkan jika sudah waktunya, keduanya (kematian dan jodoh) tetap butuh ikhtiar.
Orang cenderung  memberi stigma kepada yang belum menikah atau belum punya anak sebagai orang yang tak berikhtiar. Tidak ingin (menikah), tidak berusaha (cari jodoh), tidak mau repot (urusan anak) dan sebagainya. Dan itu membuat mereka merasa berhak untuk menghakimi orang lain, bahwa itu (yang  ‘tidak-tidak’ tadi) adalah hal yang salah, sehingga perlu diluruskan. Padahal yang belum menikah itu bisa saja sudah berikhtiar, tapi karena belum ketemu jodoh,  atau memilih untuk berpisah karena hal-hal lain. Ada memang yang belum termotivasi untuk menikah sehingga perlu didorong, diingatkan bahwa menikah itu (dalam Islam) wajib bagi yang mampu. Tapi tak sedikit juga yang secara sadar memutuskan untuk tidak menikah (karena tidak tertarik dengan lawan jenis, atau memang memilih untuk selibat). Atau malah ada yang sudah menikah tapi memilih untuk tidak punya anak (kami kayaknya ndak bakalan punya baby say. Ndak siap bawa bayi ke this crazy world – tulis salah seorang sahabat via inbox).

Semua orang punya alasan, pilihan dan akhirnya memutuskan. Dan mestinya kita harus menghormati keputusan itu.

Sama halnya dengan kematian. Bayangkan, bagaimana perasaan kita  jika orang yang kita sayangi meninggal karena sakit, dan orang yang melayat melontarkan tanya,’kenapa sampai meninggal?’ ‘kenapa tidak dibawa berobat ke luar negri saja kemaren?’, ‘kenapa nggak dioperasi?’ dan ‘kenapa-kenapa’- lainnya, yang ngga penting karena mayat sudah terbujur kaku. Terdengar kejam ‘kan? Padahal segala ikhtiar sudah dilakukan semampu kita. Dan sangat mungkin kita punya alasan untuk menjawab pertanyaan ‘kenapa’ mereka. Tapi bukan pada tempatnya juga untuk menjawab semua tanya orang ‘kan? Tidak semua orang perlu tahu jika kita punya niat untuk berobat ke luar negri, tapi tidak ada biaya. Tidak semua orang harus tahu jika operasi tidak dilakukan karena kanker sudah menyebar, misalnya.

Dan mengapa orang tidak bisa menahan diri untuk bertanya hal yang tidak pada tempatnya?

Saya ingat, beberapa tahun yang lalu, ketika akan mengikuti kursus singkat di Melbourne, Australia, saya diharuskan ikut dalam pre departure training selama 3 bulan di Jakarta. Selain memantapkan bahasa Inggris, dalam training tersebut juga diberikan materi seputar budaya di sana. Salah satunya adalah tentang hal-hal apa yang boleh dan tidak boleh ditanyakan dalam pergaulan. Menanyakan umur, status perkawinan, anak, pandangan politik/partai, agama dari seseorang, adalah hal-hal yang saya ingat sebagai sesuatu yang tidak sopan untuk dilontarkan sebagai bahan basa-basi.  Dan saya pikir, hal yang sama mestinya juga berlaku di Indonesia (dengan tambahan hal ‘berat badan’, hehehe)

 “Begitu dalamnya makna tak menghakimi seorang.” Sambung sahabat saya dalam SMS-nya.

Setuju. Terkadang manusia memang –minjam istilah anak muda sekarang- sotoy (sok tahu) dalam urusan orang lain. Berbagai komentar seperti: “Jadi kapan?” – doakan aja semoga dalam waktu dekat. “Dah isi belum?”- tabung kali ah diisi. “Wah, gak tokcer juga neh suamimu”- pernah belajar Biologi gak sih bahwa pembuahan tidak selalu akan terjadi. ”Makanya, tak usah lah pilih-pilih”- ow, maaf, buatku memilih itu penting dan dianjurkan agama.” Itulah, jangan sibuk (kerja) kali” – ah, kau pun sibuk kali nanya-nanya, heheh...Begitulah, banyak komentar atau pertanyaan klise yang seolah diucapkan dengan penuh empati, tapi nyatanya tidak sensitif dengan perasaan orang lain. Tanggapi santai, senyum, sembari menjawab dalam hati dengan kata-kata seperti yang saya tuliskan dengan huruf miring di atas. Mencoba berbaik sangka bahwa itu tanda perhatian dan pedulinya. Yang nanyain kapan pesta, enaknya diinventarisir saja, dengan asumsi, ‘oh, dia berniat nyumbang tenda, keyboard, catering, atau papan bunga, atau minimal doa’ kali ya? ;-)

Tapi, nah, tidak selamanya juga kita bisa bijak and in the good mood menghadapinya. Jika memang kita sudah tidak bisa mentolerir komentarnya lagi (sakiiiiit hati Kakak, Dek) tak ada salahnya juga becakap supaya dia tahu.  Supaya dia tahu betapa dia telah menghakimi orang dengan tidak adil. Meminjam istilah sahabat saya, “Mengolok-olok ketentuan Allah”. Jika mereka masih merasa ada yang salah dengan takdir (kita), katakan saja itu sudah ranah Allah, kepunyaan Allah. Kalau mau protes, silahkan berurusan dengan yang punya takdir, yaitu Dia, Sang Maha Adil. Sederhana.

 “Begitu  mulianya menjaga diri dari berucap sia-sia. Gue selalu mengembalikan kepada diri sendiri untuk selalu menjaga sikap dan tutur kata, juga berpikir supaya hubungan sesama manusia baik, dan insyallah kebaikan itu akan kembali pada diri kita sendiri.” SMS sahabat saya lagi.

Yah, sembari juga kita mengintrospeksi diri siapa tahu selama ini justru kita yang termasuk orang yang suka cerewet dengan takdir orang lain. Karena di mana pun posisi kita, takdir kita, sebenarnya sudah diajarkan Nya bagaimana menyikapinya.

Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri (QS Al Hadid 22-23)


Dan semoga kita bukan termasuk orang yang suka berkomentar tanpa memberi solusi, dan tak perlu mengucapkan basa basi yang sudah basi. Aamiin. 24.06.12

*Sista, terima kasih untuk SMS-nya yang menginspirasi  ;-)

Sumber dari catatan:  http://www.facebook.com/notes/gita-kencana-dalimunte/basa-basi-yang-sudah-basi-berkomentarlah-pada-tempatnya-/10151776112468306.

25 Juni 2012

KECEWA


Tulisanku ini mewakili apa yang aku rasa saat ini. Sebagai saluran distribusi emosi maka aku menulis dalam blog pribadi ini. Akhir 2009 lalu aku bersama istri sempat pergi ke Bali untuk liburan. Banyak kegiatan yang sudah kita lakukan, seperti berenang, main air dan pasir pantai, snorkling, diving, main musik, berbelanja dan lain sebagainya. Hal ini sangat aku inginkan bisa terulang lagi. 

Awal minggu ini aku beranikan diri untuk cuti akhir tahun 2012 agar bisa ketemu dengan anggota keluarga lainnya disana sekaligu untuk berlibur menghabiskan tahun baru. Mengingat bila karyawan minta liburan pasti susahnya minta ampun dengan alasan bila ditinggal maka kegiatan kantor akan terganggu. Untuk itu aku coba untuk membuat perjalan cuti secara keluarga dengan biaya sehemat mungkin.  Namun aku sangat terkejut, shock ketika permohonan cuti aku di tolak karena alasan ada yang merayakan Natalan, akhir tahun, akhir bulan dan mau tutup buku. Padahal setiap tahun alasan tersebut akan sama dan terus berulang. Bukankan itu bagian dari manajement perusahaan? 

Disetiap perusahaan tentunya mempunyai buku peraturan tentang waktu cuti yang bisa diambil dalam satu bulan, satu semester, atau sekaligus satu tahun. Sangat disayangkan ternyata hal tersebut tidak sepenuhnya masa cuti kita bisa diambil sesuai dengan yang tertulis di buku walaupun buku peraturan tersebut sudah disahkan oleh menteri tenaga kerja. Sangat sulit untuk berlibur padahal hanya meminta hak sebagai karyawan yang sudah disetujui dari pucuk pimpinan lewat buku peraturan. 

Sebagai karyawan yang membutuhkan perusahaan, tentu harus taat dan patuh terhadap peraturan yang ada termasuk bila permohonan cuti tidak disetujui. Alih-alih mencari icentive lebih dan mengharapkan perusahaan lebih growth sehingga bisa mendapatkan bonus akhir tahun. Mungkin lebih enak bila mengajukan cuti itu perempuan yang sedang melahirkan, sudah pasti 3 bulan cutinya....

Begitualah Tuhan memberikan hal yang lebih dibanding dengan laki-laki. Semoga Tuhan memberkati kita semua. Amin.